Ingin membahagiakan orang tua, itulah yang ada dalam
benakku ketika kuterima lamarannya. Betapa bakti pada orang tua, sungguh besar
pahalanya. Sehingga ketika ia mendatangi orang tuaku dan bisa meyakinkan ibuku
maka aku pun tak kuasa mengatakan tidak. Andai ada cara lain untuk menolaknya,
tentu itu sudah kulakukan. Kuminta ia menunggu dua tahun lebih karena aku ingin
menuntaskan kuliahku, ia pun bersedia. Tak banyak laki-laki yang bersedia
apalagi ketika di luar sana banyak perempuan yang siap untuk menjadi istrinya.
Tapi ia beda, ia menungguku dengan setia.
Lulus Sarjana, aku mengulur waktu lagi. Aku ingin
lanjut ke pasca sarjana. Itu hanyalah siasatku agar dia mundur dan membatalkan
pinangannya. Tapi ia dengan sabar mengiyakan dan mau menantiku. Aku mati kutu.
Tak bisa lagi mencari alasan. Genap dua tahun kuliahku S2 selesai. Mau tidak
mau pinangan yang dulu harus segera menjadi pernikahan. Aku pun berulah lagi.
Aku tak mau dibiayai olehnya, mulai dari mengundang penghulu hingga resepsi
kubayar dengan uang keringatku sendiri. Uang pemberiannya kutampik. Entahlah,
mungkin ibuku yang menerimanya. Tapi kupastikan ia tahu bahwa aku tak memakan
sedikit pun uang darinya.
Kupikir ego laki-lakinya terusik, tapi nyatanya tidak.
Ia bersikap sabar dan wajar menghadapi perilakuku. Meskipun bukan ini yang
kumau, tapi pantang bagiku menangis di hari pernikahan. Aku tetap tegar
menerima tamu sambil terus mencari cara bagaimana lepas darinya. Banyak
persyaratan sebelum nikah kuajukan dan ia pun tak ada yang keberatan. Termasuk
syarat tak boleh melarangku bekerja dan tak boleh membatasi jam kerjaku, ia pun
mengiyakan. Termasuk ia tak boleh memaksaku untuk ‘melayaninya’ ketika aku tak
menginginkannya.
Upayaku untuk ‘menyakitinya’ berlanjut terus. Aku sempat
menjalin kenangan lama dengan seseorang dari masa lalu. Rasanya susah bagiku
untuk melupakannya. Kami beberapa kali janjian bertemu meskipun hanya untuk
minum kopi bersama. Tak ada pegangan tangan, tak ada hal-hal yang akan disesali
bersama. Aku tahu bahwa ini salah, aku tahu ini dosa. Tapi aku benar-banar tak
kuasa menghindarinya. Ya...setan berjingkrak kesenangan. Dan aku larut dalam
buaiannya. Astaghfirullah.
Suamiku tahu, tapi ia memilih diam dalam sikapnya.
Hingga di satu titik, aku ingin semua kegilaan ini berakhir. Aku butuh penguat.
Aku kontak teman lama sesama muslimah untuk curhat. Aku butuh seseorang yang
bisa mendengar. Aku juga butuh nasihat. Meskipun aku tahu banyak soal hukum
agama, tapi sepertinya kesadaranku perlu ‘digetok’ sedikit keras. Aku pun
menangis di hadapannya. Hal yang amat sangat tabu untuk kulakukan di depan
orang lain, yaitu berurai air mata. Tapi kali ini, aku benar-benar
memerlukannya.
Benar saja, ia adalah sahabat yang bukan hanya bisa
mendengar. Ia ‘membangunkanku’ dengan cukup keras. Bahkan eskpresi terkejutnya
begitu jelas terlihat ketika tahu bahwa di tahun kedua menjelang tiga tahun
pernikahan, aku tak pernah ‘disentuh’ suamiku. Terlihat jelas ia mengatur
kata-kata untuk ‘menggetok’ kesadaranku dengan lembut tapi tegas dan efektif.
Ya...aku tak ingin keruwetan ini berlanjut karena perbuatanku. Aku pun tak
ingin membiarkan laki-laki baik itu, -yang begitu setia dan sabar meskipun aku
bukan istri yang baik- menunggu lagi.
Tidak mudah memang, tapi aku harus mau berubah. Aku
lelah sendiri. Aku lelah dalam pengabaian meskipun dia yang kuabaikan tak
pernah lelah mencintaiku. Rasanya inilah momen aku harus belajar mencintainya.
Mencintainya dengan nama Allah karena ia dulu pun menghalalkanku atas namaNya
juga.
Bismillah. Selalu ada awal yang indah untuk hamba yang
mau bertobat. Selalu ada cinta meski tertatih untuk seseorang, yang telah
begitu sabar dan setia tanpa pernah lelah. Ya...ia tak pernah lelah mencintaiku
meskipun harus menunggu berbilang tahun. Kini saatnya aku meneladani cintanya
dan membalas sebaik yang aku bisa. Insya Allah.
Dikisahkan ulang oleh
riafariana divoa-islam.com
Sumber: www.voa-islam.com
Image:lovealmanac.xom